Merbabu Membuatku Bertanya

cr: ig faiqiyah

Sudah kali ke tiga aku mendaki gunung, bukan untuk memuaskan hobi, tapi untuk menampik misteri yang dipertanyakan oleh diri. Dan ini adalah pendakian paling melelahkan sepanjang sejarah aku mendaki.

Pendakian ini memang tanpa rencana, hanya sebuah ajakan begitu saja, lalu tiba-tiba serempak bilang iya. Ketika sudah hari H, ya beginilah jadinya, berangkat dengan perlengkapan seadanya, membawa keperluan sebutuhnya saja. Biarkan aku sedikit mengulas perjalanan gunung terpanjangku. Menaiki Merbabu yang memang sudah menjadi sebuah – bisa dikatakan resolusi sejak tahun lalu – akhirnya tersampaikan juga. Dengan berbekal niat, dibumbui beberapa debat, akhirnya muncul lah sepakat. Oke, kami bertujuh sama-sama memiliki niat mendaki Merbabu hari sabtu. Tujuh adalah angka ganjil, dan konon katanya Nabi Muhammad suka angka ganjil, makanya ketika melakukan suatu yang secara kebetulan berulang, mereka suka mengatakan, “Tanggung, tiga aja, sunnah Nabi.” Tiga adalah angka ganjil, dan tujuh adalah angka ganjil juga. Itulah relasinya. Lalu kami berangkat bertujuh orang dengan 4 motor menjadi kendaraan. Ada satu orang yang direlakan untuk berkendara sendirian, dan aku bukanlah orang yang direlakan.

Siang itu cuaca tak terlalu panas, dalam hati sebenarnya was-was, takut turun hujan yang nantinya bikin kabur pemandangan, tak apa lah dikatakan penakut hujan, toh bukannya sok berani, aku berkata sesuai perasaan yang ada dalam hati. Beruntungnya, air  tak turun begitu saja, ternyata ia masih berproses, naik ke angkasa untuk kemudian jatuh merayap di udara.

Dalam benakku sudah terkonsep perjalanan gunung akan seperti apa, karena ini memang bukan pendakianku yang pertama, aku sedikit banyak sudah bisa menerka. Hal ini juga yang membuat aku sedikit cemas, dan cemasku kala itu tak hanya melintas dalam benak, tapi benar-benar malah menjadi nyata. Jadi begini, dihadapkan dengan jalanan terjal mendaki, ada momen dimana motor yang –aku dan temanku naiki tak mampu dikendarai – dengan baik. Lalu akhirnya aku mengendarai motor sampai basecamp seorang diri. Ah nasib, padahal sudah enak berdua, di tengah perjalanan malah harus dipisahkan oleh keadaan. Tapi ya mau bagaimana lagi, kalau aku terus memaksa jalan berdua, aku yakin jangankan Merbabu, basecamp satu saja tak akan pernah bisa aku capai.

Untung saja aku sudah biasa sendiri, jadi aku bisa dengan bangga mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Itu sih luarnya saja, padahal sejatinya, jalanan panjang yang diujungnya berkelok, beraspal tapi bergeronjal membuat manusia sepertiku butuh teman mengobrol. Sudah, tak apa, kadang kita memang harus rela berjalan sendirian supaya bisa sampai pada apa yang ingin kita capai. Dinikmati dan disyukuri saja kesendiriannya, toh nanti akhinya juga sampai. Dan sampai di basecamp setelah perjalanan panjang berliku, rasanya itu….. bahagia sekali yakin.

Pendakian ke Merbabu kami mulai tepat pukul tujuh. Melewati jalur Gancik – yang sekarang sudah dibuka tidak hanya untuk jalur pendakian, tapi juga untuk para wisatawan, menikmati kawasaan Boyolali diatas ketinggian, sungguh hal itu menjadi sebuah kenikmatan, gan. Cobalah sekali-kali main kesana. Tiket masuk jalur Gancik ternyata murah, hanya keluar uang 8500 rupiah, lalu kami melanjutkan perjalanan sesuai arah. Sampai di basecamp kami disuguhi orang-orang dengan senyum ramah, menu-menu makan khas gunung (baca: mie rebus) yang murah, juga fasilitas tikar untuk sekedar merebahkan punggung yang karena berkendara motor menjadi sedikit lelah.

Mendaki gunung dimalam hari memang punya sensasi tersendiri. Dengan senter yang hanya beberapa, aku pribadi terkatung-katung melawati jalan yang terjal mendaki. Ini bukan masalah ngos-ngosan atau fisik yang tidak kuat, tapi mendaki di tengah malam yang pekat disertai hujan yang tak begitu lebat, sungguh ini pengalaman yang akan akan selalu diingat, entah bagian merananya, entah bagian bahagianya. Tapi memang, mendaki selalu tentang sebuah kemeranaan, tapi yang menjadi sebuah heran adalah kenapa malah banyak orang yang berdatangan.
Cr: ig @faiqiyah 

Kalau kata kebanyakan pendaki, karena mendaki gunung selalu menjadi sebuah rindu yang berakibat candu.

Tapi memang tidak salah ungkapan seperti itu, karena gunung selalu punya suasana baru. Kalau di daerah tempat tinggalku, hawanya panas– sak kayahe kalo kata pemilik akun ig d_kadoor, kalau di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti panas sekali. Memang tak bisa dipungkiri, kendati sama-sama mentari ada diatas kepala, tapi hawa di gunung lebih dingin bahkan berkali-kali lipat rasanya. Contohnya saja air, tanpa perlu pakai yang namanya kulkas, air sudah dengan sendirinya mendingin didalam tas. Ini bisa hemat listrik beribu-ribu watt kalau saja tempat tinggalku sama seperti di gunung.

Selain itu, di gunung juga tak ada yang namanya polusi. Motor dan mobil yang mewah, gedung-gedung yang kokoh berdiri megah, pabrik-pabrik penyumbang limbah, sudahlah menyerahlah saja jika kau mencarinya di gunung, jelas sudah jika kau tidak akan menemukannya. Ah, andai saja tempat tinggalku di gunung, aku pasti bisa bernapas dengan leluasa tanpa takut terkontaminasi oleh yang namanya polusi udara, minum air juga bakal seenaknya karena tak takut airnya terkontaminasi racun atau semacamnya.

Dan senyum ramah yang selalu tertebar dimana-mana, selalu mampu menguatkan, dari lelah yang tak berkesudahan. Tak banyak, pun tak sedikit orang yang entah terang terangan entah blak-blakan bertanya, naik gunung untuk apa? Jika kau penyuka naik gunung, kau akan jawab apa?

Comments

  1. Online Casino - Play games from the best slot machine - KDAP
    Online Casino with instant kadangpintar play, 제왕 카지노 online 샌즈카지노 play! Play slot games like blackjack, roulette, poker and more!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts